Rabu, 04 Maret 2009

Otonomi Daerah

Otonomi Daerah

1. Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku
Otonom secara bahasa diartikan dengan berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah tersebut.
Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu
1. Kemampuan si pelaksana (Pemerintah Daerah)
2. Kemampuan dalam keuangan
3. Ketersediaan alat dan bahan
4. Kemampuan dalam berorganisasi.
Ada beberapa bidang yang tidak diliputi oleh otonomi daerah, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Maka dari itu, jika prinsip ini menjadi sangat penting bagi prasyarat suatu daerah untuk dapat melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut.
2. Konsepsi Otonomi Daerah
Konsepsi otonomi daerah memang berdiri pada satu terminologi yakni kemandirian daerah dalam usahanya memberikan proposisi eksistensinya pada tatanan peran dan kedudukan antara pemerintah pusat dengan daerah. Proposisi vis a vis antara pemerintah pusat dengan masyarakat daerah tersebut, justru secara kontekstual telah membidani paradigma pengelolaan pemerintah daerah melalui kemasan istilah otonomi yang menegasikan substansi civil society sebagai pilar utama tingkat kredibilitas eksistensi masyarakat daerah. Boleh jadi akhirnya konsepsi ini di justifikasi dan diapology oleh pemerintah daerah untuk melegitimasi otorisasinya (bukan otonominya) terhadap masyarakat yang berimplikasi secara logis telah menempatkan pemerintah daerah bukan sebagai bagian dari subordinasi rakyat, tapi sebaliknya pemerintah daerah melakukan confiusitas terhadap rule of the game atas nama konsepsi otonomi daerah sebagai upaya rasional untuk mengeksploitasi kemampuan rakyat dengan kemasan kata sinergitas, elaborasi dan sebagainya.
Kondisi demikian itu telah membalikkan fungsi peran pemerintah yang seharusnya berfungsi mengayomi masyarakat. Sinyalemen tersebut secara empirik dapat kita saksikan bagaimana pemimpin daerah melihat momentum dispute regulasi pelaksanaan otonomi daerah untuk melakukan radikalisasi kepentingan dengan menggunakan paradigma menguasai daerah-bukan memberdayakan daerah. Konsepsi trickel down efect sebagai istilah elaborasi pemberdayaan masyarakat atas keterlibatan stakeholders hanya melahirkan konsepsi sepihak tentang eksploitasi daerah yakni hanya untuk kepentingan primary stakeholders terutama investor dan pejabat pemerintah saja - tidak meluas kepada kepentingan secondary stakeholders yakni masyarakat daerah tersebut sebagai salah satu pilar utama indikator kemajuan suatu daerah.
Memahami sinergitas bukan hanya berbicara tentang concern konsepsi komunikasi antara pemerintah daerah dengan investor dan masyarakat daerah saja, melainkan juga menyangkut tentang sejauhmana political will pemerintah daerah dalam mereformulasikan budaya daerah menjadi etos energi dan budaya yang merujuk kepada nilai-nilai dan struktur kemandirian yang berdiri pada satu corak keberagaman masyarakat daerah. Oleh karenanya persoalan komunikasi hanya menjadi bagian dari upaya meregulasi persepsi pemerintah untuk dipahami obyektif bagi stakeholders. Persepsi tersebut tentu diimplementasi melalui kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang memiliki landasan kuat, yaitu pertama, landasan empirik, yakni paradigma yang melihat alasan logis dan latar belakang yang kuat-urgen dan memiliki prospektus jangka panjang bagi masayarakat daerah. Kedua, landasan sosiologis, yakni melihat sejauhmana estimasi dukungan masyarakat yang terakomodasi melalui kepentingan riel dalam rangka mengkonstruksi daerah dan kepentingan daerah yang bertendensi pada nilai kemaslahatan. Ketiga, landasan yuridis, yakni konsepsi regulasi kebijakan yang jelas dan terarah serta berupaya memiliki kekuatan kontrol, koordinasi dan menegasikan peluang terciptanya kesempatan melakukan praktek-praktek kebiadaban aktivitas ekonomi yaitu korupsi, kolusi dan manipulasi. Keempat, landasan filosofis yakni sejauhamana kebijakan yang diambil memberikan posisi relevansi yang konstruktif bagi peran masyarakat daerah dan memberikan kontribusi jelas bagi pemerintah daerah berdasarkan tingkat kelayakan implementasi dari kebijakan tersebut.
Keempat landasan tersebut menjadi nilai instrinsik bagi sukses tidaknya komunikasi yang akan dibangun oleh pemerintah daerah kepada investor dalam hal memberikan keyakinan tentang prospek bisnisnya di suatu daerah. Keempat landasan tersebut juga merupakan persyaratan logis yang perlu diimplementasikan sampai tataran budaya berfikir masyarakat. Sehingga secara implisit nantinya akan muncul dengan sendirinya tentang istilah ada atau tidanya political will dari pemerintah tentang konsep pemberdayaan terhadap masyarakat daerah. Mereformulasi budaya menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebab hal tersebut merupakan salah satu prasyarat sukses tidaknya konsep pemberdayaan masyarakat daerah.
Komunikasi aktif antar stakeholder yang dilakukan tanpa dibarengi dengan memberikan brain storming dalam upaya merekonstruksi sikap mental semua pihak khususnya aparatur pemerintah baik yang berkorelasi dengan kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur pemerintah daerah menjadikan paling tidak agenda utama otonomi daerah secara implisit bergulir pada term agenda reformasi yang konstruktif. Yakni suatu perubahan secara bertahap terhadap tatanan nilai-nilai lama yang dianggap keliru dengan tatanan baru yang lebih baik. Persoalan reformulasi budaya ini harus dikedepankan mengingat secara tendensius sudah mulai terjadi preseden pergeseran kepentingan dan nilai-nilai terhadap substansi filosofis mengenai agenda otonomi daerah. Yakni nilai-nilai lama sudah pasti dianggap keliru, sehingga penguasa daerah secara subyektif menegasikan konsepsi dan nilai-nilai tersebut sebagai tatanan dalam merekonstruksi peran dan eksistensi daerah, sementara nilai-nilai sebagai indikator tatanan baru belum terbentuk sudah dijustifikasi sebagai sesuatu yang obyektif padahal ukuran takaran obyektifnya belum benar-benar teruji pada tingkat implementasi. Akibatnya penyakit dan budaya destruktif pada nilai-nilai lama mengalami pergeseran budaya. Misal jika dulu pemerintah daerah malu-malu dalam hal mengeksploitasi kemampuan masyarakat, sekarang lebih terang-terangan. Jika dulu korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sekarang dilakukan dengan memanipulasi perspektif hukum secara subyektif interpretatif dan dilakukan secara terang-terangan tanpa malu-malu.
Implikasinya sekarang korupsi dilakukan secara terang-terangan dengan melibatkan semua kepentingan (stakeholders), terutama antara aparatur pemerintah dengan badan legislatif (dalam hal ini adalah DPRD). Penunjukkan proyek-proyek tender yang manipulatif dan tidak didasarkan atas dasar System Operation Standard Prosedure dan lain sebagainya adalah praktek-praktek aktual komunikasi aktif antar stakeholders sekarang ini. Tinggal persoalannya adalah quo vadis rakyat berdiri pada term apa ? menjadikan pemerintah yang melegalisasi budaya korupsi tersebut sebagai subordinasi rakyat atau sebaliknya. Jika masyarakat mau mendudukkan pemerintah sebagai subordinasi dari rakyat, maka rakyat harus tegas bahwa kebijakan pemerintah membangun sinergi bukan berarti hanya mendudukkan masyarakat sebagai obyek, sebagai pelengkap dan tidak memiliki bargaining posisition terhadap eksistensi dan kebijakan pemerintah daerah. Justru sebaliknya masyarakat harus melakukan upaya kontrol dan pembenahan bagi upaya pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik daerah. Itulah konsepsi kemitraan yang berdiri pada kultur kondusifitas iklim yang diingini investor. Sebab investor pasti melakukan studi kelayakan terlebih dahulu mengenai berbagai hal untuk mengamankan orientasi bisnis dan usahanya demi suistanable economic oriented-nya, yakni likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan soliditas. Maka ukuran itu semua harus berada pada iklim yang kondusif dari segi partisipasi masyarakat, hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan berdayanya elemen infra dan suprastruktur masyarakat termasuk hukum dan budaya yang merekonstruksi kepentingan semua pihak. Bukan Cuma primary stakeholders saja, melainkan juga secondary stakeholders.
3. Permasalahan Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar