Rabu, 04 Maret 2009
Otonomi Daerah
1. Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku
Otonom secara bahasa diartikan dengan berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah tersebut.
Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu
1. Kemampuan si pelaksana (Pemerintah Daerah)
2. Kemampuan dalam keuangan
3. Ketersediaan alat dan bahan
4. Kemampuan dalam berorganisasi.
Ada beberapa bidang yang tidak diliputi oleh otonomi daerah, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Maka dari itu, jika prinsip ini menjadi sangat penting bagi prasyarat suatu daerah untuk dapat melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut.
2. Konsepsi Otonomi Daerah
Konsepsi otonomi daerah memang berdiri pada satu terminologi yakni kemandirian daerah dalam usahanya memberikan proposisi eksistensinya pada tatanan peran dan kedudukan antara pemerintah pusat dengan daerah. Proposisi vis a vis antara pemerintah pusat dengan masyarakat daerah tersebut, justru secara kontekstual telah membidani paradigma pengelolaan pemerintah daerah melalui kemasan istilah otonomi yang menegasikan substansi civil society sebagai pilar utama tingkat kredibilitas eksistensi masyarakat daerah. Boleh jadi akhirnya konsepsi ini di justifikasi dan diapology oleh pemerintah daerah untuk melegitimasi otorisasinya (bukan otonominya) terhadap masyarakat yang berimplikasi secara logis telah menempatkan pemerintah daerah bukan sebagai bagian dari subordinasi rakyat, tapi sebaliknya pemerintah daerah melakukan confiusitas terhadap rule of the game atas nama konsepsi otonomi daerah sebagai upaya rasional untuk mengeksploitasi kemampuan rakyat dengan kemasan kata sinergitas, elaborasi dan sebagainya.
Kondisi demikian itu telah membalikkan fungsi peran pemerintah yang seharusnya berfungsi mengayomi masyarakat. Sinyalemen tersebut secara empirik dapat kita saksikan bagaimana pemimpin daerah melihat momentum dispute regulasi pelaksanaan otonomi daerah untuk melakukan radikalisasi kepentingan dengan menggunakan paradigma menguasai daerah-bukan memberdayakan daerah. Konsepsi trickel down efect sebagai istilah elaborasi pemberdayaan masyarakat atas keterlibatan stakeholders hanya melahirkan konsepsi sepihak tentang eksploitasi daerah yakni hanya untuk kepentingan primary stakeholders terutama investor dan pejabat pemerintah saja - tidak meluas kepada kepentingan secondary stakeholders yakni masyarakat daerah tersebut sebagai salah satu pilar utama indikator kemajuan suatu daerah.
Memahami sinergitas bukan hanya berbicara tentang concern konsepsi komunikasi antara pemerintah daerah dengan investor dan masyarakat daerah saja, melainkan juga menyangkut tentang sejauhmana political will pemerintah daerah dalam mereformulasikan budaya daerah menjadi etos energi dan budaya yang merujuk kepada nilai-nilai dan struktur kemandirian yang berdiri pada satu corak keberagaman masyarakat daerah. Oleh karenanya persoalan komunikasi hanya menjadi bagian dari upaya meregulasi persepsi pemerintah untuk dipahami obyektif bagi stakeholders. Persepsi tersebut tentu diimplementasi melalui kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang memiliki landasan kuat, yaitu pertama, landasan empirik, yakni paradigma yang melihat alasan logis dan latar belakang yang kuat-urgen dan memiliki prospektus jangka panjang bagi masayarakat daerah. Kedua, landasan sosiologis, yakni melihat sejauhmana estimasi dukungan masyarakat yang terakomodasi melalui kepentingan riel dalam rangka mengkonstruksi daerah dan kepentingan daerah yang bertendensi pada nilai kemaslahatan. Ketiga, landasan yuridis, yakni konsepsi regulasi kebijakan yang jelas dan terarah serta berupaya memiliki kekuatan kontrol, koordinasi dan menegasikan peluang terciptanya kesempatan melakukan praktek-praktek kebiadaban aktivitas ekonomi yaitu korupsi, kolusi dan manipulasi. Keempat, landasan filosofis yakni sejauhamana kebijakan yang diambil memberikan posisi relevansi yang konstruktif bagi peran masyarakat daerah dan memberikan kontribusi jelas bagi pemerintah daerah berdasarkan tingkat kelayakan implementasi dari kebijakan tersebut.
Keempat landasan tersebut menjadi nilai instrinsik bagi sukses tidaknya komunikasi yang akan dibangun oleh pemerintah daerah kepada investor dalam hal memberikan keyakinan tentang prospek bisnisnya di suatu daerah. Keempat landasan tersebut juga merupakan persyaratan logis yang perlu diimplementasikan sampai tataran budaya berfikir masyarakat. Sehingga secara implisit nantinya akan muncul dengan sendirinya tentang istilah ada atau tidanya political will dari pemerintah tentang konsep pemberdayaan terhadap masyarakat daerah. Mereformulasi budaya menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebab hal tersebut merupakan salah satu prasyarat sukses tidaknya konsep pemberdayaan masyarakat daerah.
Komunikasi aktif antar stakeholder yang dilakukan tanpa dibarengi dengan memberikan brain storming dalam upaya merekonstruksi sikap mental semua pihak khususnya aparatur pemerintah baik yang berkorelasi dengan kepentingan infrastruktur maupun suprastruktur pemerintah daerah menjadikan paling tidak agenda utama otonomi daerah secara implisit bergulir pada term agenda reformasi yang konstruktif. Yakni suatu perubahan secara bertahap terhadap tatanan nilai-nilai lama yang dianggap keliru dengan tatanan baru yang lebih baik. Persoalan reformulasi budaya ini harus dikedepankan mengingat secara tendensius sudah mulai terjadi preseden pergeseran kepentingan dan nilai-nilai terhadap substansi filosofis mengenai agenda otonomi daerah. Yakni nilai-nilai lama sudah pasti dianggap keliru, sehingga penguasa daerah secara subyektif menegasikan konsepsi dan nilai-nilai tersebut sebagai tatanan dalam merekonstruksi peran dan eksistensi daerah, sementara nilai-nilai sebagai indikator tatanan baru belum terbentuk sudah dijustifikasi sebagai sesuatu yang obyektif padahal ukuran takaran obyektifnya belum benar-benar teruji pada tingkat implementasi. Akibatnya penyakit dan budaya destruktif pada nilai-nilai lama mengalami pergeseran budaya. Misal jika dulu pemerintah daerah malu-malu dalam hal mengeksploitasi kemampuan masyarakat, sekarang lebih terang-terangan. Jika dulu korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sekarang dilakukan dengan memanipulasi perspektif hukum secara subyektif interpretatif dan dilakukan secara terang-terangan tanpa malu-malu.
Implikasinya sekarang korupsi dilakukan secara terang-terangan dengan melibatkan semua kepentingan (stakeholders), terutama antara aparatur pemerintah dengan badan legislatif (dalam hal ini adalah DPRD). Penunjukkan proyek-proyek tender yang manipulatif dan tidak didasarkan atas dasar System Operation Standard Prosedure dan lain sebagainya adalah praktek-praktek aktual komunikasi aktif antar stakeholders sekarang ini. Tinggal persoalannya adalah quo vadis rakyat berdiri pada term apa ? menjadikan pemerintah yang melegalisasi budaya korupsi tersebut sebagai subordinasi rakyat atau sebaliknya. Jika masyarakat mau mendudukkan pemerintah sebagai subordinasi dari rakyat, maka rakyat harus tegas bahwa kebijakan pemerintah membangun sinergi bukan berarti hanya mendudukkan masyarakat sebagai obyek, sebagai pelengkap dan tidak memiliki bargaining posisition terhadap eksistensi dan kebijakan pemerintah daerah. Justru sebaliknya masyarakat harus melakukan upaya kontrol dan pembenahan bagi upaya pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik daerah. Itulah konsepsi kemitraan yang berdiri pada kultur kondusifitas iklim yang diingini investor. Sebab investor pasti melakukan studi kelayakan terlebih dahulu mengenai berbagai hal untuk mengamankan orientasi bisnis dan usahanya demi suistanable economic oriented-nya, yakni likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan soliditas. Maka ukuran itu semua harus berada pada iklim yang kondusif dari segi partisipasi masyarakat, hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan berdayanya elemen infra dan suprastruktur masyarakat termasuk hukum dan budaya yang merekonstruksi kepentingan semua pihak. Bukan Cuma primary stakeholders saja, melainkan juga secondary stakeholders.
3. Permasalahan Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Partisipasi Politik Perempuan
Oleh
Dra Evi Novida Ginting, MSP*
Dalam Konsep demokrasi modern, partisipasi politik merupakan suatu hal yang mutlak terjadi, karena dengan konsep kebebasan berpendapat, membentuk organisasi ataupun menjadi anggota suatu organisasi, kebebasan mengakses informasi, mengarahkan pada bentuk dorongan terhadap partisipasi politik masyarakat. Karena dengan adanya partisipasi tersebut, maka dinamisasi demokrasi tersebutakan berjalan dengan baik dalam mencapai tujuannya. Tanpa partisipasi politik masyarakat yang tinggi, maka akan sangat sulit untuk mengukur sejauh mana demokratisasi itu telah berjalan dengan baik.
Partisipasi secara harfiah berarti keikutsertaan. Dalam konteks politik hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik tidaklah hanya warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik bukan partisipasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan tersebut.
Di Indonesia, partisipasi politik masyarakat masih pada tahapan yang sangat sempit, karena partisipasi politik masyarakat lebih sering mengacu pada dukungan terhadap keputusan yang telah dikeluarkan oelh pemimpin, bukan menjadikan masyarakat menjadi actor utama dalam pembuatan kebijakan maupun keputusan tersebut. jadi konsep partisipasi politik yang diterapkan di Indonesia masih sangat sempit dan belum dapat bergerak secara menyeluruh untuk kepentingan masyarakat.
Dewasa ini dalam konsep demokrasi modern, kita mengenal kemudian dengan terminologi partisipasi politik perempuan. Menjadi menarik karena sampai dengan hari ini partisipasi politik perempuan masih sangant minim, baik perempuan yang masuk dari jalur partai politik, eksekutif, legislatif, dan ormas-ormas yang ada. Minimnya partisipasi perempuan dalam politik dikarenakan oleh banyak faktor, baik itu karena kesempatan yang dibatasi, ataupun karena perempuan menempatkan posisi yang pasif, dimana perempuan melihat dunia politik bukan merupakan domainnya perempuan melainkan lebih cenderung kepada ranahnya laki-laki. Di Indonesia dengan adanya budaya politik yang patriarki dimana laki-laki selalu ditempatkan didepan perempuan mengakibatkan peranan politik perempuan sangat dibatasi dan masih dianggap kurang berberan baik itu oleh sebagaian kalangan politisi laki-laki maupun oleh masyarakat secara luas, dan bahkan perempuan juga banyak yang melihat bahwa dunia politik bukannya tempat perempuan untuk beraktivitas.
Untuk meningkatkan peranan politik perempuan, di Indonesia kemudian dilakukan suatu program peningkatan partisipasi politik perempuan yang diarahkan pada bagaimana perempuan dapat dilindungi dan diakomodir hak-hak politiknya baik melalui undang-undang maupun aturan-aturan yang lain. Hal tersebut dapa kita lihat pada pemilihan legislatif tahun 2009 mendatang, yang tertuang dalam UU No 10 Tahun 2008 pada Pasal 53 disebutkan bahwa “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan”. Dari bunyi undang-undang tersebut diatas jelas mengakomodir kepentingan perempuan dalam konteks partisipasi politiknya untuk dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislative tanpa harus dibatasi oleh partai politik yang kurang apresiasi terhadap gerakan politik perempuan, sehingga keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif dapat terjamin. Ditambah lagi melalui adanya peraturan KPU NO 18 Tahun 2008 Pasal 12 ayat 2, yang bunyinya “didalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Kedua aturan ini merupakan perwujudan dari program peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Dengan adanya aturan ini diharapkan perempuan dapat didorong untuk lebih berpartisipasi secara aktif dalam dunia politik, sehingga harapan dari aturan tersebut adalah adanya keseimbangan antara wakil dari laki-laki dan perempuan di Lembaga Perwakilan.
Di kota Medan, penerapan undang-undang dan peraturan ini secara ketat di jalankan oleh penyelenggara pemilu, dan memang tampak jelas bahwa masih ada juga partai politik yang belum dapat memenuhi standard pencalonan yang diamanahkan oleh undang-undang, sehingga banyak terjadi kekosongan calon pada saat penerapan DCT (daftar calon tetap) calon anggota legislatif. Hal ini bukan saja dikarenakan oleh ketidak pahaman partai politik terhadap aturan yang berlaku, melainkan juga karena memang perempuan masih sangat minim partisipasinya didalam partai politik, hal ini juga tentu akibat dari rekrutmen partai politik terhadap perempuan yang sangat minim.
Data calon anggota legislatif yang terdaftar saat ini di kota medan dengan jumlah perbandingan perempuan yang masih agak jauh dari laiki-laki, akan tetapi jika dilihat dari konteks undang-undang yang menganjurkan untuk memuat keterwakilan 30% perempuan telah terpenuhi. Saat ini calon anggota legislatif kota medan untuk laki-laki sebanyak 917 orang, sedangkan calon anggota legislatif yang perempuan sebanyak 464 orang, dilihat dari perbandingannya antara calon anggota legislatif perempuan dan calon anggota legislatif laki-laki, angka calon anggota legislatif perempuan tersebut sudah mencapai 30%.
Dari konteks keterwakilan perempuan secara politik dan amanah dari undang-undang telah terpenuhi secara tepat, akan tetapi untuk keterwakilan dari perempuan tersebut untuk duduk di parlemen tentu berdasarkan jumlah suara yang mereka peroleh nantinya pada saat pemilihan, apakah sauara calon anggota legislatif perempuan dapat memenuhi syarat dan aturan yang berlaku untuk mendapatkan jatah kursi di parlemen, itu semua tergantung dari besaran jumlah suara yang mereka peroleh pada saat pemilihan umum nanti, karena sebagai catatan bersama bahwa affirmative action (keterwakilan 30% perempuan) sampai dengan saat ini adalah menyangkut keterwakilan perempuan (30%) dalam pencalonan calon anggota legislatif, bukan merupakan kebijakan yang mengatur tentang penetapan calon terpilih untuk duduk sebagai anggota legislatif di parlemen. Sehingga jika menyangkut affirmative action, maka kota medan secara khusus telah terpenuhi secara baik dilihat dari persentase perbandingan calon anggota legislatif perempuan dan laki-laki.
Dari aturan yang berlaku sekarang tentunya perempuan telah memiliki kesempatan yang sangat besar untuk dapat mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui lembaga kegislatif, karena wakil perempuan yang terdaftar telah tertata dengan rapi yang diatur melalui undang-undang dan peraturan KPU, jadi partai politik tidak memiliki alasan lagi untuk tidak menyertakan perempuan sebagai calon yang mereka usulkan. Akan tetapi untuk sampai pada tujuan duduk sebagai anggota legislatif, perempuan yang secara persentase memiliki jumlah yang lebih banyak daripada laki-laki tentunya memiliki peluang yang lebih besar daripada laki laki. Tinggal bagaimana para perempuan yang menjadi calon anggota legislatif ini dapat mendapatkan perhatian yang lebih besar dari para pemilih perempuan yang besar tersebut. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bahwa perempuan tidak dapat berpolitik, karena Negara telah menjamin melaui undang-undang, hanya tinggal bagaimana para aktivis perempuan dapat menggerakkan minat para perempuan untuk dapat lebih serius terjun kedalam dunia politik secara aktif
Saya kira kedepan untuk mendorong partisipasi politik perempuan agar lebih tinggi dan tidak hanya sekedar melengkapi peraturan dan undang-undang saja adalah dengan memberikan pencerahan-pencerahan yang dilakukan secara terus-menerus terhadap kaum perempuan agar tidak tabu dan merasa politik bukan hanya domainnya laki-laki, melainkan perempuan juga harus berpolitik. Sehingga ada keseimbangan yang tercipta antara laki-laki dan perempuan dalam politik Indonesia kedepan.
*Penulis Adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Kota Medan
Periode 2008-2013
Gerakan Mahasiswa Di Indonesia
“Saya menemukan bahwa keterangan-keterangan mutakhir dari orang-orang Indonesia, Belanda dan Inggris, sama-sama menekankan bahwa, peranan inti awal pecahnya revolusi itu diambil bukan oleh para cendikiawan yang terasing, bukan juga terutama oleh kelas-kelas tertindas, melainkan oleh kaum muda, atau sebagaimana orang-orang Indonesia menyebutkan mereka, Pemuda”1.
Sebagaimana sejarah telah mencatat dengan tintah emas bahwa pemuda adalah barisan terdepan dalam momentum-momentum penting di negeri ini. Sebagai contoh yaitu Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Chairul Saleh dan yang lainnya merupakan representasi dari sosok pemuda.
Defenisi pemuda menurut Francois Raillon ialah berdasarkan usia dari 15 tahun sampai 30 tahun2. namun ketika dibawah rezim Orde Baru, pemuda tidak lagi berada dalam batas-batas usia tertentu, akan tetapi pemuda dijadikan menurut pemahaman Orde Baru yang mengharuskan pemuda berkonotasi dengan pembangunan seperti selogan-selogan Orde Baru itu sendiri serta harus berada dibawah naungan wadah yang dibentuk oleh rezim yang berkuasa yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI yang dibentuk pada juli 1973.
Didalam sejarah, peran sentral pemuda dalam dinamika bangsa Indonesia sering disebut dengan angkatan-angkatan, sebagaimana Pramoedya Ananta Toer dalam pidatonya pada saat dilantik menjadi anggota PRD di Jakarta, 21 Maret 1999 dengan judul “Angkatan Muda Sekarang” membagi angkatan-angkatan tersebut menjadi lima (5) angkatan dalam pergolakan Indonesia sampai tahun 1970an berdasarkan karakteristik masing-masing angkatan. 1. Angkatan belasan yaitu para mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial untuk belajar ke Belanda dan disana mereka menemukan kesadaran tentang tanah air dan nasionnya dan mereka menamai dengan Indonesia, 2. Angkatan 20-an dengan Sumpah Pemudanya, 3. angkatan 45 yang tanpa pamrih siap mengorbankan jiwa dan raga mereka mempertahankan kemerdekaan nasional disetiap jengkal tanah air, 4. angkatan 66, sebuah angkatan yang tak ada sesuatu yang perlu dinilai, dan 5. angkatan Malari yang menghendaki reformasi dengan pekikan “Militer kembali kebarak”3.
Selain lima(5) angkatan yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer diatas, tidak ada salahnya memasukan sebuah angkatan lagi, yaitu angkatan 1998. gerakan mahasiswa 1998 layak untuk disejajarkan dengan prestasi-prestasi gerakan mahasiswa dan pemuda sebelumnya. Dengan gerakan massa yang di motori oleh mahasiswa serta haris berhadapan dengan kekuatan aparatur Negara yang masih terkonsolidasi dengan baik serta walau pun harus membawa korban ternyata target yang ingin dicapai oleh gerakan massa tersebut berhasil dicapai dengan ditandai pendudukan gedung parlemen yang pada akhirnya membawa pada kejatuhan Presiden Soeharto.
Dalam buku Penakluk Rezim Orde Baru,Gerakan Mahasiswa 98 pada bagian Prolog oleh Soewarsono, kata angkatan secara istilah lebih dekat dengan kata pemuda sedangkan istilah mahasiswa ialah termasuk kedalam varian dari pemuda, hal ini berdasarka pada usia serta keterlibatan mahasiswa didalam KNPI.
Mahasiswa sebagai bagian dari pemuda ternyata lebih maju dibandingkan dengan bagian-bagian lain dari pemuda, hal ini dikarenakan mahasiswa termasuk juga sebagai kaum intelektual yang dilatih agar mampu menempati posisi terdepan dalam perubahan dimasyarakat.
Sebagai yang terdepan dalam proses perubahan, secara umum mahasiswa mempunyai dua peran pokok, yaitu sebagai kekuatan korektif terhadap dinamikan yang berkembang dalam masyarakat serta sebagai kekuatan yang membangun kesadaran kepada masyarakat akan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat4. jadi dengan kata lain peran kedua dari mahasiswa ialah mengorganisir serta berjuang bersama masyarakat.
Gerakan Mahasiswa tahun 1966
Berbicara gerakan mahasiswa tahun 1966, maka kita tidak akan bias memisahkan dengan kejadian-kejadian yang masih misterius sampai sekarang. Walau pun masih ditutupi kabut tebal seputar peristiwa G30S, rasanya tidaklah salah bila penulis mengangkat seputar gerakan mahasiswa dalam menumbangkan Soekarno serta menghantarkan Soeharto pada puncak kekuasaan.
Demokrasi terpimpin berdiri sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Soekarno dengan disokong oleh kekuatan militer dengan berlandasan pada konstitus UUD 1945. dampak dari diterapkannya Dekrit Presiden ini membawa Soekarno sebagai kekuatan politik yang tak tertandingi.
Untuk menyokong kekuasaannya, Soekarno pada pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul penemuan kembali revolusi kita, mencanangkan Manipol Usdek, U(UUD45), S(Sosialis Indonesia), D(Demokrasi Terpimpin), K(Kepribadian Indonesia). Kemudian dirumuskan juga penggabungan ideologi-ideologi besar kedalam satu konsepsi yang disebut Nasakom5.
Sebagai pusat kekuasaan, ternyata banyak kekuatan-kekuatan politik yang mencoba untuk mendapatkan posisi strategis disekitar Soekarno. Kakuatan-kekuatan yang paling nyata berebut pengaruh ialah PKI dan TNI AD. Ujung dari persaingan antara PKI dan TNI AD tersebut ternyata berujung pada meletusnya tragedi G30S.
Pasca pecahnya pristiwa G30S, ternyata membawa persatuan kekuatan mahasiswa dan militer anti Soekarno. Dengan terbunuhnya para Jendral AD menjadikan alasan yang kuat untuk menggoyang posisi Soekarno disamping alasan-alasan kemiskinan serta instabilitas politik dan pertentangan paham yang tiada henti, atau dalam pandangan Anderson dan Mcvey, bahwa pristiwa G30S adalah mewakili kulminasi logis dari kekerasan dan kebencian yang sangat mendalam diantara kelompok-kelompok dan ideology-ideologi yang jauh lebih luas6.
Untuk menyikapi G30S, maka dibentuklah sebuah kesatuan aksi pada tanggal 2 Oktober 1965 yang bertujuan untuk membersihkan PKI beserta unsur-unsurnya yang dianggap dalang tragedi berdarah tersebut. Salah satu kesatuan aksi tersebut adalah kesatuan aksi pengganyang Gestapu (KAP-Gestapu).
Memasuki fase berikutnya, berdasarkan hasil rapat dirumah menteri Pendidikan Tinggi, Brigjen Syarif Thayep dinyatakan bahwa kesatuan aksi mahasiswa Indonesia (KAMI) terbentuk tepat pada tanggal 25 Oktober 1965. KAMI didominasi oleh PMKRI,SOMAL,PMII dan Mapancas7. KAMI didukung penuh oleh militer dikarenakan bukan hanya memiliki tujuan yang sama serta aktivis-aktivis KAMI ternyata mempunyai hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh militer anti Soekarno8.
Sebelum KAMI muncul, aksi-aksi mahasiswa masih bersifat sporadis,tidak menyatu serta tidak tersistematis. Setelah KAMI berdiri, gerakan mahasiswa lebih terfokus dengan menyuarakan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi dari Tritura tersebut ialah Bubarkan PKI, Retool Kabinet dan Turunkan Harga Barang.
Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno malakukan reshuffle kabinet Dwikora, akan tetapi kebijakan Soekarno tersebut ditentang oleh mahasiswa karena komposisi kabinet yang baru masih diisi oleh orang-orang PKI, korup serta tidak kompeten. Tepat pada tanggal 24 Februari 1966 pada saat pelantikan kabinet Dwikora, jatuh korban tewas dari mahasiswa ketika melakukan aksi, salah seorangnya adalah Arif Rahman Hakim (mahasiswa kedokteran UI)9.
Dalam menghadapi aksi-aksi mahasiswa yang bertambah luas dan massif, akhirnya Soekarno membubarkan KAMI dengan keputusan Presiden No 4/Kogam/196610. pasca pembubaran KAMI oleh Soekarno, mahasiswa membentuk wadah baru yang diambil dari nama mahasiswa yang gugur dalam aksi-aksi tahun 1966, yaitu Laskar Arif Rahman Hakim (Laskar ARH) yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi di Jakarta11.
Pasca keluarnya surat perintah sebelas Maret (Supersemar) serta pembersihan terhadap kekuatan-kekuatan PKI dan Soekarno, naiklah Jendral Soeharto ketampuk kekuasaan. Seluruh anggota legislative pendukung PKI dan Soekarno diganti kan dengan orang-orang pendukung Jendral Soeharto, diantaranya merupakan perwakilan dari mahasiswa, antara lain Fahmi Idris, Jhony Simanjuntak, David Napitupulu, Mar’ie Muhammad, Liem Bian Koen, Soegeng Sarjadi, Nono Anwar Makarim, Yozar Anwar, Cosmas Batubara dan Slamet Sukirnanto12.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Pasca turunnya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia maka masuklah pada babak baru yaitu Orde Barudibawah pimpinan Jendral Soeharto. Naiknya Soeharto terhitung sejak keluarnya surat perintah sebelas Maret atau Supersemar. Naiknya Soeharto tersebut tidak bias dilepaskan dari peran mahasiswa angkatan 66dalam menggulingkan Soekarno. Seymour M Lipset menggambarkan keberhasilan gerakan mahasiswa tahun 1966 dalam menggulingkan Soekarno sejajar dengan keberhasilan mahasiswa menggulingkan Juan Peron (1955) di Argentina dan Peres Jimones (1958) di Venezuela.
Setelah lebih dari 30 tahun Soeharto berkuasa dengan sangat otoriter, timbullah perlawanan-perlawanan dari mahasiswa. Penggulingan Soeharto pada tahun 1998 sebenarnya puncak dari perjuangan-perjuangan mahasiswa sebelumnya.
Kejatuhan Soeharto dapat dirunut ketika terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. krisis ini bermula jatuhnya nilai mata uang Thailand yang kemudian diikuti oleh Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah jatuh menjadi Rp 240013. dampak dari melemahnya nilai Rupiah ini membuat dunia usaha menjadi tidak berkutik bahkan sampai gulung tikar serta melonjaknya harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Ternyata dampak dari krisis ekonomi ini dianalisa oleh seorang ekonom UI, Faisal Basri dengan mengambil kesimpulan yang cukup provokatif :
“Kalau pemerintah masih juga mencari jalan pemecahan dengan cara berputar-putar dan mencoba-coba, karena enggan menengok ke inti permasalahan dari krisis yang terjadi,agaknya ratusan juta penduduk miskin tak akan lagi mau diajak bersabar dengan janji-janji tanpa perlu menunggu mahasiswa dan intelektual bergerak, mereka dengan sendirinya akan melangkahkan kaki mencari sesuap nasi untuk tujuan survival semata. Ditambah dengan seonggok persoalan lain yang belum kunjung menunjukan perbaikan berarti, maka secara ekonomi dan politik masalahnya menjadi semakin rawan. Dosa besar kalau kita berdiam diri menunggu hingga anarki berkecamuk”14.
Dari krisis ekonomi yang timbul pada saat itu, ternyata dijadikan momentum politik mahasiswa untuk meruntuhnya Orde Baru. Mahasiswa memandang bahwa tiadanya kedaulatan rakyat dan sistem yang demokratis itulah yang membuat krisis ekonomi semakin parah. Lebih lanjut KM UGM menyatakan bahwa rezim Soeharto tidak bias ditoleransi lagi, karena dosanya menciptakan kelaparan dan menindas rakyat yang sudah berkorban dengan darah dan air mata selama ini. Jadi krisis ekonomi ini bagi KM UGM harus dijadikan momentum untuk melakukan perlawanan menentang rezim Soeharto15.
Pada tanggal 25 Februari 1998, kelompok civitas academica UI melakukan aksi mimbar bebas di UI Selemba. Aksi ini terdiri dari mahasiswa UI dan ikatan alumni UI (ILUN UI) menuntut agar pemerintah mengatasi krisis yang terjadi 16.
Pada sidang umum MPR yang diselenggarakan pada tanggal 1-11 Maret 1998 menetapkan Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya. Pasca pengukuhannya sebagai Presiden, Soeharto ternyata membuat kebijakan yang menambah sakit hati rakyat, yaitu dengan melantik Siti Hardiyanti Rukman sebagai menteri Sosial, Bob Hasan sebagai menteri Perindustrian dan perdagangan, mengangkat Haryanto Danoetirto dan Abdul Latif yang merupakan kroni-kroni Soeharto17.
Akan tetapi yang membuat marah mahasiswa ialah diangkatnya Wiranto Arismunandar sebagai meteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia adalah mantan rector ITB periode 1986-1997. Selama kepemimpinannya di ITB, sedikitnya 12 mahasiswa dikeluarkan dan 61 mahasiswa di skorsing karena kebijakan NKK/BKK.
Pasca sidang umu MPR, aksi-aksi mahasiswa menentang Soeharto semakin meluas. Tercatat dari 49 aksi mahasiswa pada Februari 1998 langsung melonjak mencapai 247 aksi pada Maret 1998. Aksi-aksi tersebut merata diseluruh Indonesia. Rekor terbesar dibuat mahasiswa Surabaya (35 aksi) diikuti Ujung pandang (32 aksi), Bandung (28 aksi), Yogyakarta (25aksi), Solo (19 aksi), Malang (17aksi) dan Semarang (16 aksi)18.
Radikalisasi aksi mahasiswa semakin hari semakin meningkat, sehingga sering terjadi bentrokan-bentrokan dengan aparat keamanan (tentara dan polisi). Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrok dengan aparat antara mahasiswa yang ingin melanjutkan aksi keluar kampus dengan aparat keamanan. Tanggal 2-3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrok berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai kedalam kampus. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa pada tanggal 24 April sehingga mengakibatkan Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari19.
Dari bentrokan-bentrokan pada saat aksi mahasiswa dengan aparat mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa. Di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, Jawah Tengah, 65 mahasiswa terluka dan 28 diantaranya harus dilarikan ke rumah sakit. Di Solo, bentrok mengakibatkan sebelas mahasiswa luka-luka. Dimalang, Jawa Timur,bentrokkan mahasiswa dengan polisi terjadi di dua tempat perpisah, Harian Jawa Pos mencatat 30 mahasiswa luka-luka.
Dalam menanggapi aksi-aksi mahasiswa, Orde Baru mencoba meredakan aksi-aksi mahasiswa tersebut dengan melakukan penculikan terhadap pimpinan-pimpinan aksi tersebut.beberapa aktivis yang diculik antaranya : Faisol Reza, Andi Arif, Desmond J. Mahesa, Rahardja Waluya Jati, Gilang , Pius Lustrilanang dan lain sebagainya. Hingga saat ini masih ada 15 aktivis yang belum diketemukan, sedangkan mayat Gilang ditemukan di Madiun. Aksi penculikan ini dilakukan oleh Tim Mawar dari Kopassus yang dipimpin oleh Prabowa Sukbianto, menantu Presiden Soeharto. Ada pun kelima belas aktivis yang belum ditemuakan ialah :
1. Aristoteles Masoka
2. Wiji Thukul (Wiji Widodo)
3. A. Nasir
4. Hendra Hambalie
5. Ucok Munandar Siahaan
6. Yadin Muhidin
7. Herman Hendrawan
8. Petrus Bimo Anugrah
9. Suyat
10. Dedy Hamdun
11. Ismail
12. Noval Alkatiri
13. M. Yusuf
14. Sonny
15. Yani Avri 20
Peristiwa berdarah juga terjadi pada tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta. Empat mahasiswa gugur tertembak. Kejadian ini membuat kemarahan rakyat sehingga mengakibatkan Jakarta lumpuh totaldengan adanya kerusuhan masal. Adapun korbantewas pada tragedy Trisakti tersebut ialah sebagai berikut :
1. Elang Mulyana Lesmana,19 tahun, tewas tertembak diatas tangga
2. Hery Hartanto,21 tahun, tewas tertembak di dekat tangga
3. Hendriawan, 20 tahun, tewas tertembak ketika berlari menuju tiang bendera
4. Hafidhin Rayyan, 21 tahun tewas tertembak didekat telepon umum21.
Selain aksi-aksi jalanan yang dilakukan oleh mahasiswa, peristiwa lain yang mempercepat turunnya Soeharto dari kursi kekuasaannya adalah pendudukan gedung DPR/MPR oleh ratusan ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei 1998. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran diri nya sebagai Presiden dan digantikan oleh wakilnya BJ Habibie.
Komunikasi Politik
Komunikasi politik disamping semua bagian dari sistem politik, komunikasi politik dapat pula menetukan kualitas tanggapan dari sistem poltik itu sendiri. Bilamana komunikasi politik berjalan berjalan dengan lancar, wajar dan sehat maka akan meningkatkan kualitas responsif yang tinggi terhadap perkembangan aspirasi dan kepentingan masyarakat serta tuntutan perubahan zaman. Menurut Lucian Pye, seluruh proses-proses sosial yang dapat dianalisis dalam pengertian struktur, kandungan dan aliran komunikasi. Sebagaimana dijelaskan:
“komunikasi adalah jaring masyarakat manusia. Struktur sebuah sistem komunikasi dengan saluran-salurannya yang sedikit banyak terdefnisikan baik adalah seperti halnya kerangka dari tubuh sosial yang membungkusnya. Kandungan komunkasi merupakan sumber substansi dasar hubungan manusi. Aliran komunikasi menentukan arah dan jejak perkembangan sosial yang dinamis”.
Menurut Redi Panuju, unsur unsur dalam kominkasi politik umumnya terdiri dai komunikator, komunikan, pesan, media, tujuan, efek, dan sumber komunikasi. Kesemua unsur ini berada pada dua struktur politik, yakni infrastruktur dan suprastruktur poltik. Dari kerangka diatas dapat diasumsikan bahwa komunikasi semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Lebih jauh ia mengatakan bahwa ada enam bgian skenario berfikir, yaitu:
1. komunikasi merupakan cara dan tekhnik penyerahan sejumlah tuntutan dan dukungan sebagai input dalam sistem politik, misalnya dalam rangka artikulsi kepentingan.
2. komunikasi digunakan sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat, baik dalam rangka mobilisasi sosial untuk implementasi tujuan, memperoleh dukungan, memperoleh kepatuhan, dan integrasi politik. Komunikasi juga digunakan sebagai bentuk feed-back atas sejumlah output (kebijakan pemerintah).
3. Komunikasi menjalankan fungsi sosialisasi politik kepada warga negara.
4. Komunikasi menjalankan peran memberi ancaman(coersion) sekaligus juga memberikan batasn-batasan mengenai hal-hal yang ditabukan untuk membatasi ruang gerak aktifitas politik masyarakat
5. Komunikasi mengkoordinasikan tata nilai politik yang diinginkan, sehingga mencapai tingkat hegemonitas yang reaktif. Hegemonitas nilai-nilai politik ini sangat menentukan stabilitas politik.
6. Komunikasi sebagai kekuatan kontrol sosial yang memelihara idealisasi sosial dan keseimbangan politik.
Pendapat umum tidak dibentuk dalam isolasi, dan tidak hanya menjadi satu bagian yang terintegrasi dari proses komunikasi politik saja, akan tetapi juga dari proses-proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan. Pendapat umum tersebut erat terlibat dalam setiap proses, sebab apa yang diketahui orang dan diyakini merupakan faktor penting dalam penentuan tingkah laku poltik mereka.
Pendapat umum adalah hasil dari pengaruh kontak tatap muka dan media massa, pengaruh orang tua, pendidikan, kelompok sebaya, kelompok kerja dan waktu senggang, dan opinion leaders disatu pihak dan dari pengaruh surat kabar serta media cetak. Tetunya semua pengaruh ini tidak sama pentingnya, dan dalam banyak hal tergantung pada evaluasi masing-masing individu.
Strategi Politik
Menurut David Horowitz, Art Of Political War memiliki enam prinsip berikut :
1. Politik adalah perang dengan peralatan lain
2. Politik adalah perang merebutkan posisi
3. Dalam politik yang menang biasanya adalah sang agresor
4. Posisi didefenisikan dengan kekuatan dan harapan
5. Senjata politik adalah simbol ketakutan dan harapan
6. kemenangan selalu berada di pihak rakyat
Manajemen politik adalah sebuah seni dan keterampilan tentang perebutan kekuasaan dan alatnya bukanlah mainan anak-anak, dan instrumennya yang disebut dengan ketakutan dan harapan bisa berupa senjata tajam.
Dalam merumuskan strategi, Sun Tzu menjelaskan bahwa dalam pemilihan strategi harus ada hal-hal tertentu yang diprioritaskan, selanjutnya ia berpendapat bentuk yang lain dalam memimpin perang adalah menyerang strategi lawan, kemudian yang terbaik berikutnya adalah menghancurkan aliansi lawan, berikutnya adalah menyerang tentara lawan, sedangkan yang paling buruk adalah menduduki kota-kota yang dibentengi lawan. Untuk dapat menyerang lawan, maka strategi lawan tersebut harus dapat dikenali terlebih dahulu. Oleh karena itu pengenalan atas pihka lawan sangatlah penting. Jika tidak, kita tidak akan dapat mengenali lawan. Penyerangan strategi lawan berarti secara terus menerus mengganggu jalannya pelaksanaan strategi lawan, sehingga lawan tidak bisa merealisasikan strateginya. Dalam sepak bola hal ini dikenal dengan istilah gangguan dini yang menyebabkan pola permainan tidak dapat dibangun.
Strategi ofensif selalu dibutuhkan, misalnya apabila partai ingin meningkatkan jumlah pemilihnya atau apabila pihak ekselutif ingin mengimplementasikan sebuah proyek. Dalam kedua kasus tersebut harus ada lebih banyhak orang yang memiliki pandangan positif terhadap partai atau proyek tersebut, sehingga kampanye dapat berhasil.
Yang termasuk strategi ofensif adalah strategi memperlua pasar dan strategi menembus pasar. Pada dasarnya, semua strategi ofensif yang diteapkan saat kampanye pemilu harus menampilkan perbedaan yang jelas dan menarik antara kita dan partai-partai pesaing yang ingin kita ambil alih pemilihnya. Ddalam strategi ofensif yang digunakan untuk mengimplementasikan politik yang harus dijual atau ditampilkan adalah perbedaan terhadap keadaan yang berlaku saat itu serta keuntungan-leuntungan yang dapat diharapkan daripadanya.
Strategi defensif menurut Peter Schroder akan muncul ke permukaan, misalnya apabila partai pemerintah atau koalisi pemerintahan yang terdiri atas beberapa partai ingin mempertahankan mayoritasnya atau apabila pangsa pasar ingin dipertahankan. Selain itu strategi defensif juga dapat muncul pabila sebuah pasar tidak akan dipertahankan lebih lanjut atau ingin ditutup, dan penutupan pasar ini diharapkan membawa keuntungan sebanyak keuntungan.
Kampanye Politik
Kampanye politik dalam suatu pemilihan umum adalah bagian dari demokrasi, meskipun kritik yang disampaikan melalui karikatur sering memberikan kesan tidak baik, tetapi kampanye pemilu tidak dapat dianggap sebagai tidak legitim ataupun tidak bermoral. Kampanye pemilu merupakan instrumen yang sah, dimana kelompok kepentingan politik berupaya menjelaskan kebenaran tujuannya kepada masyarakat umum. Kampanye politikmendapatkan legitimasi dari arti pemilu itu sendiri, karena pemilu adalah fondasi kebebasan individu.
Menurut Arnold Steinberg, kampanye politik adalah cara yang digunakan warga negara dalam demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka, kampanye politik merupakan usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Setiap kampanye politik adalah suatu usaha hubungan masyarakat.
Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavioral), yaitu :
1. kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan atau kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan khalayak terhadap isu tertentu.
2. Pada tahap berkutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian dan keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kamanye.
3. Pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara kongkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye.
Menurut Charles U. Larson, kampanye dibagi kedalam tiga kampanye yaitu :
1. Product iriented campaign (comercial campaign atau corporate campaign) atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di dunia bisnis. Motivasi yang yang mendasarinya adalah keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga didapatkan keuntungan yang diharapkan.
2. Candidate Oriented Campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat, umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat juga disebut sebagai political campaigns (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan oleh partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan melalui proses pemilihan umum.
3. Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan sering kali berdimensi perubahan sosial.
Larson juga menjelaskan dengan model five stages development model. Pada model ini digambarkan bagaimana tahapan kegiatan kampanye harus dilalui sebelum akhirnya kegiatan tersebut berhasil atau gagal mencapai tujuan. Tahap kkegiatan tersebut meliputi identifikasi, legitimasi, partisipasi, penetrasi dan distribusi.
Model ini dijelaskan sebagai berikut :
1. Tahap identifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kkampanye yang dengan mudah dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan sebagai identitas politik adalah simbol, warna, lagu atau jingle, seragam dan slogan.
2. Tahap berikutnya adalah legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang telah masuk dalam daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen.
3. Tahap ketiga partisipasi. Tahap ini dalam praktikny sulit dibedakan dengan tahap legitimasi, karena ketika seseorang mendapatkan legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak, partisipasi ini bersifat nyata (real) atau simbolik. Partisipasi nyata ditunjukkan oleh keterlibatan orang-orang dalam menyebarkan pamflet, brosur atau poster. Sementara partisipasi sombolik bersifat tidak langsung, misalnya ketika anda menempelkan stiker nama partai tertentu dibelakang mobil anda atau sekedar mengenalkan kaos partai yang dibagikan secara gratis.
4. Tahap penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat telah hadir dan mendapat tempat di masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya telah berhasil menarik simpati masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa ia adalah kandidat yang terbaik dari sekian kandidat yang ada, dengan menggunakan media massa uutnuk menyiarkan dan memberitakan secara luas dangan harapan untuk lebih memperkuat keyakina masyarakat.
5. Terakhir adalah tahap distribusi. Pada tahap ini tujuan kampanye umumnya telah tercapai. Kandidat politik telah mendapatkan kekuasaan politik yang mereka inginkan, tinggal sekarang bagaimana mereka membuktikan janji-janji mereka pada saat kampanye dengan harapan bahwa periode kedepan dia dapat dipilih kembali oleh masyarkat.
Pada model kampanye Nowak dan Warneryd terdapat delapan elemen kampanye yang harus diperhatikan, yakni :
1. Efek yang diharapkan. Efek yang ingin dicapai harus dirumuskan terlabih dahulu secara jelas, dengan demikian penentuan elemen-elemen lainnya akan dengan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu mengagung-agungkan efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan tidak tegas.
2. Persaingan komunikasi. Agar suatu kampanye menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan suatu potensi gangguan dari kampanye yang bertolak belakang (counter campaign).
3. Objek komunikasi. Objek kampanye biasanya dipusatkan pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau yang ditekankan pada objek tersebut.
4. Populasi target dan kelompok penerima. Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan dapat lebih mudah dilakukan maka penyebaran lebih baik ditujukan kepada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan populasi target aka diklasifikasikan menurut sulit atau mudahnya mereka dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka yang tidak membutuhkan atau tidak terterpa pesan kampanye adalah bagian dari kelompok yang sulit dijangkau.
5. Saluran (The Chanel). Saluran digunakan dapat bermacam-macam tergantung karakterisik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media dapat dijangkau hampir seluruh kelompok, namunbila tujuannya adalah mempengaruhi perilakumaka akan lebih efektif bila melakukan melalui saluran antarpribadi.
6. Pesan (the message). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok yang menerimanya, pesan juga dapat dibagi kedalam tiga fungsi, yakni :
- Menumbuhkan kesadaran
- Mempengaruhi ; serta
- Memperteguh dan meyakini penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.
7. Komunikator/penerima pesan. Komunikator dapat dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seseorang memiliki kedua sifat tersebut. Pendeknya komunikator harus memiliki kredibilitas dimata penerima pesannya
8. Efek yang dicapai. Efek kampanye yang meliputi efek kognitif (perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan perasaan, mood dan sikap) dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan).
Kampanye Politik dalam pemilu jika dilakukan tanpa perencanaan adalah seperti perjalanan kearah yang tidak jelas tanpa peta dan kompas. Artinya, hampir bisa dipastikan orang si pelaku perjalanan tidak akan sampai di tempat yang dituju. Dalam melakukan kampanye, harus memiliki rencana kampanye yang mencakup dua belas hal berikut ini, yaitu :
1. Meneliti dan menganalisa lawan politik dan perencanaan kampanyenya, komposisi demografi dan gaya hidup pemilih, cara-cara perilaku sosial dan politis mereka, dan juga kelebihan dan kelemahan pihak sendiri. Tujuannya untuk mengetahui apa kira-kira yang akan menyebabkan kekalahan dan dalam kondisi bagaimana kampanye akan dimulai.
2. Penelitian jajak pendapat secara kuantitatif. Hasil dari penelitian opini publik tidak perlu berasal dari lembaga peneliti yang mahal. Yang penting adalah kita tahu dimana posisi partai kita. Artinya, kita tahu apa yang sedang berkembang, dimana pihak lawan menunjukkan kelemahannya, tema atau isu-isu apa saja yang sedang panas dan yang dapat dimanfaatkan sebagai kendaraan bagi tujuan kita. Apakah data-data tersebut berasakl dari profesor yang kita kenal atau dari lembaga komersial yang besar, itu kurang penting. Yang terpenting adalah independensi sumber yang memberikan fakta nyata tanpa kepentingan strategis.
3. Aliansi politik. Perlu dibentuk koalisi klasik didalam dan diluar partai politik, misal dengan perkumpulan-perkumpulan dekat, dan klub-klub lobi, dan kelompok-kelompok kepentingan serta media yang berpihak pada kita. Yang juga perlu dicari adalah tokoh-tokoh terjun sendiri kedalam kampanye atau yang dapat memobolisasi orang lain.
4. Promosi. Tujuannya komunikasi yang terbiayai dan terkontrol sesuai anggaran. Iklan di koran, plakat, iklan di radio dan TV, iklan di bioskop, iklan di situs internet (direct mailling); semua ini membutuhkan kesiapan para agen (kegiatan ini sering disebut dengan briefing, tahap perancangan dan penolakan konsep, tahap produksi alat-alat promosi dan iklan dan juga tahap penempatan. Artinya, membeli tempat pemasangan iklan dan durasi iklan. Kegiatan ini harus dilakukan pihak profesional.
5. Kampanye di jalan-jalan dan events. Langkah ini diartikan sebagai aksi basis atau aktivitas partai yang terorganisasi, dengan atau tanpa selebriti, stan-stan informasi, aksi telepon, canvassing dari rumah-kerumah, kegiaan ini tidak hanya membutuhka manajemen personal para profesional tetapi juga pembantu-pembantu sukarela dan biaya logistik yang besar
6. Humas. Fokus humas adalah komunikasi yang terjadi dengan cara memberikan informasi dan pengaruh kepada media-media independen. Tujuannya adalah agar informasi tentang parpol masuk kedalam redaksi siaran berita dengan pemberiataan yang lebih terpercaya. Informasi ini sebaiknya tidak hanya diberikan kepada ide-ide spontan juru bicara partai, tapi harus mengikuti keseluruhan strategi komunikasi.
7. Koordinasi dan perencanaan waktu untuk kandidat. Bagian ini berarti mendefenisikan aturan-aturan terhadap persetujuan dan penolakan agenda termasuk masing-masing tujuan politik dan komunikatif. Setidaknya harus dipersiapkan sebuah sistem dan logistik setelah undangan diterima atau ditolak.
8. Perencanaan keuangan. Bukan hanya berarti membuat kas penerimaan dan pengeluaran yang sederhana, tetapi juga harus membuat defenisi yang tepat tentang tugas-tugas tertentu dalam kas dan waktu masuk dan keluarnya uang.
9. Pengumpulan dana. Komunikasi adalah kegiatan yang tidak murah. Siapa yang sebelum atau selama kampanye mengumpulkan sumbangan-sumbangan kecil secara sistematis, maka ia akan dapat menambahkabn modal dananya dari segelintir sumbangan besar, subsidi dan iuran anggota.
10. Administrasi dan pembukuan. Merupakan tim-tim kecil yang harus ditata dengan baik. Artinya, ada kegiatan rutin kantor, asisten dan manajemen office dan selain itu wewenagn yang jelas dalam menjalankan pembukuan keuangan (bendahara).
11. Mobilisasi pada hari pemilihan. Penyelesaian akhir harus disiapkan dengan tepat agar mendapatkan hasil yang maksimal dari sumber daya yang ada sebelum hari kampanye selesai.
12. Perencanaan waktu. Untuk semua isu/tema, promosi, aksi PR, fundraising, dan keuangan tujuannya tidak boleh ditentukan pada satu waktu, namun harus dibuat jadwal yang pasti kapan tujuan tersebut akan dicapai.